Monday, 20 October 2014

HIDUP BERSANDING, BUKAN BERTANDING



Assalamu ‘Alaikum Wr. Wb.
Hai Sahabat Blogger! Apa kabar? Semoga baik-baik saja yach.. Aamiin…
Ini postingan ke-19 Aku loh. Semoga bermanfaat juga yach.. Aamiin…
HIDUP BERSANDING, BUKAN BERTANDING
          Dalam proses menjadi Indonesia, setidaknya ada tiga tahapan yang menjadi tonggak sejarah amat penting untuk diacuh kembali untuk menata kerangka pikir bangsa yang kini sedang dalam kondisi krisis di segala bidang. Termasuk bagian dari krisis itu adalah masalah kesatuan bangsa yang cenderung retak.

Pertama, 20 Mei 1908 yang menjadi tonggak sejarah karena berdirinya organisasi kemasyarakatan yang berpaham kebangsaan.
Kedua, Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 yang menjadi luar biasa bersejarah karena ketika itu para pemuda dari berbagai etnis berikrar menyatukan diri dalam satu wadah, Tanah Air Indonesia.
Ketiga, Hari Kemerdekaan 17 Agustus 1945 saat Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia menyatakan kepada dunia bahwa berbagai suku bangsa yang pada 1928 telah berikrar menjadi satu bangsa merdeka.
Dari balik ketiga peristiwa bersejarah itu terpancar sinar keikhlasan masing-masing suku bangsa untuk bersepakat mengubah statusnya dari suku bangsa menjadi bangsa. Sebagai contoh, dalam hal penerimaan bahasa Melayu-Riau sebagai bahasa nasional tercermin betapa tingginya rasa ikhlas dan toleransi itu.
Data jumlah pemakai bahasa suku bangsa pada tahun 1930 menunjukkan bahwa pemakai bahasa Jawa merupakan jumlah yang paling tinggi (47,02%), bahasa Sunda sebanyak 14,53%, sementara bahasa Melayu hanya 4,97% dari jumlah penduduk Nusantara saat itu. Tetapi, baik masyarakat Jawa, Sunda, Madura, Bali, Batak, Bugis dan lain-lain menerima dengan ikhlas dan sepakat untuk menjunjung tinggi bahasa Melayu-Riau sebagai bahasa Nasional.
Rasa ikhlas itu kini semakin menipis. Hampir setiap aktivitas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berlangsung dan diakhiri dengan tindakan mencerminkan tidak adanya keikhlasan apalagi toleran. Saling menudig, menyalahkan, menjatuhkan, menyerang, merusak, membakar, menyakiti, melukai hingga menghilangkan nyawa orang seperti menjadi hal biasa.
Krisis yang terjadi mencerminkan adanya pergeseran tentang apa hak dan kewajiban warga negara untuk hidup bersama dalam ikatan satu bangsa. Mereka tak lagi menjunjung prinsip hubungan bersanding, tetapi bergeser ke arah hubungan bertanding. Bila dalam prinsip bersanding akan tercipta hubungan dalam kesejajaran untuk saling menghargai dan menghormati, dalam bertanding lebih dalam posisi berlawan dan bersaing untuk mendapatkan kemenangan. Model kehidupan dalam suasana pertandingan terjadi tidak hanya di lapis bawah, tetapi merebak ke segala tingkatan.
Hubungan antar suku bangsa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara pada hakikatynya adalah hubungan persandingan, karena masing-masing suku bangsa memiliki budaya yang berbeda. Konsep pemikiran hubungan persandingan yang telah diletakkan para pendiri bangsa sangat tepat dan bijaksana karena fokusnya adalah pada pemahaman masyarakat. Meskipun berbeda-beda, pada hakikatnya satu, Bhinneka Tunggal Ika. Justru dengan banyaknya perbedaan itulah akan lahir sebuah mozaik yang indah, unik, dan menarik. (oleh K Soeprapto, direktur Pengembangan Nilai-nilai Kebangsaan Depdagri)
Sekian yang dapat saya posting. Sekali lagi semoga bermanfaat.
Terima Kasih
Wassalamu ‘Alaikum Wr. Wb.

No comments: