Assalamu ‘Alaikum Wr. Wb.
Hai Sahabat Blogger! Apa kabar? Semoga
baik-baik saja yach.. Aamiin…
Ini postingan ke-19 Aku loh. Semoga
bermanfaat juga yach.. Aamiin…
HIDUP BERSANDING, BUKAN BERTANDING
Dalam
proses menjadi Indonesia, setidaknya ada tiga tahapan yang menjadi tonggak
sejarah amat penting untuk diacuh kembali untuk menata kerangka pikir bangsa
yang kini sedang dalam kondisi krisis di segala bidang. Termasuk bagian dari
krisis itu adalah masalah kesatuan bangsa yang cenderung retak.
Pertama, 20 Mei 1908 yang menjadi
tonggak sejarah karena berdirinya organisasi kemasyarakatan yang berpaham
kebangsaan.
Kedua, Hari Sumpah Pemuda 28
Oktober 1928 yang menjadi luar biasa bersejarah karena ketika itu para pemuda
dari berbagai etnis berikrar menyatukan diri dalam satu wadah, Tanah Air
Indonesia.
Ketiga, Hari Kemerdekaan 17 Agustus
1945 saat Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia menyatakan kepada dunia
bahwa berbagai suku bangsa yang pada 1928 telah berikrar menjadi satu bangsa
merdeka.
Dari balik
ketiga peristiwa bersejarah itu terpancar sinar keikhlasan masing-masing suku
bangsa untuk bersepakat mengubah statusnya dari suku bangsa menjadi bangsa. Sebagai
contoh, dalam hal penerimaan bahasa Melayu-Riau sebagai bahasa nasional
tercermin betapa tingginya rasa ikhlas dan toleransi itu.
Data jumlah
pemakai bahasa suku bangsa pada tahun 1930 menunjukkan bahwa pemakai bahasa
Jawa merupakan jumlah yang paling tinggi (47,02%), bahasa Sunda sebanyak
14,53%, sementara bahasa Melayu hanya 4,97% dari jumlah penduduk Nusantara saat
itu. Tetapi, baik masyarakat Jawa, Sunda, Madura, Bali, Batak, Bugis dan
lain-lain menerima dengan ikhlas dan sepakat untuk menjunjung tinggi bahasa
Melayu-Riau sebagai bahasa Nasional.
Rasa ikhlas
itu kini semakin menipis. Hampir setiap aktivitas dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berlangsung dan diakhiri dengan
tindakan mencerminkan tidak adanya keikhlasan apalagi toleran. Saling menudig,
menyalahkan, menjatuhkan, menyerang, merusak, membakar, menyakiti, melukai
hingga menghilangkan nyawa orang seperti menjadi hal biasa.
Krisis yang
terjadi mencerminkan adanya pergeseran tentang apa hak dan kewajiban warga
negara untuk hidup bersama dalam ikatan satu bangsa. Mereka tak lagi menjunjung
prinsip hubungan bersanding, tetapi bergeser ke arah hubungan bertanding. Bila dalam
prinsip bersanding akan tercipta hubungan dalam kesejajaran untuk saling
menghargai dan menghormati, dalam bertanding lebih dalam posisi berlawan dan
bersaing untuk mendapatkan kemenangan. Model kehidupan dalam suasana pertandingan
terjadi tidak hanya di lapis bawah, tetapi merebak ke segala tingkatan.
Hubungan antar
suku bangsa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara pada
hakikatynya adalah hubungan persandingan, karena masing-masing suku bangsa
memiliki budaya yang berbeda. Konsep pemikiran hubungan persandingan yang telah
diletakkan para pendiri bangsa sangat tepat dan bijaksana karena fokusnya
adalah pada pemahaman masyarakat. Meskipun berbeda-beda, pada hakikatnya satu,
Bhinneka Tunggal Ika. Justru dengan banyaknya perbedaan itulah akan lahir
sebuah mozaik yang indah, unik, dan menarik. (oleh K Soeprapto, direktur
Pengembangan Nilai-nilai Kebangsaan Depdagri)
Sekian yang dapat saya posting. Sekali
lagi semoga bermanfaat.
Terima Kasih
Wassalamu ‘Alaikum Wr. Wb.
No comments:
Post a Comment