Assalamu ‘Alaikum Wr. Wb.
Hai sahabat blogger!! Apa kabar nich??
Ini postingan keenam saya, semoga bermanfaat!!
KATA
PENGANTAR
Assalamu ‘Alaikum Warohmatullahi
Wabarokatu
Puji syukur kami panjatkan kehadiran
Allah SWT. berkat rahmat dan hidayah-Nyalah kami dapat menyelesaikan makalah
kami yang berjudul “PENGGUNAAN
PRINSIP GEOGRAFI DALAM FENOMENA ALAM”.
Dan tak lupa juga sholawat serta salam kita kirimkan kepada
Nabi Muhammad SAW. karena Beliaulah yang membawa kita dari alam kegelapan
menuju alam yang terang benderang.
Suatu kebahagiaan bagi kami karena
dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik, tanpa halangan dan kesulitan.
Terimah kasih atas
partisipasi anda untuk membaca makalah dari kami, serta teriring do’a semoga
kita semua sukses. Amin….
Assalamu Alaikum Warohmatullahi
Wabarokatu.
Watampone, 15 Oktober 2012
Kelompok
IV
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
B. TUJUAN / MANFAAT
BAB II PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN PRINSIP
GEOGRAFI
1. PRINSIP
PENYEBARAN
2. PRINSIP INTELERASI
B. PENGGUNAAN PRINSIP
DALAM FENOMENA BANJIR
BAB III PENUTUP
A. KESIMPULAN
B. SARAN
DAFTAR PUSTAKA
BAB
I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Fenomena macet akibat banjir
merupakan hukum kausal yang menjadi ciri khas kondisi Ibu Kota saat ini.
Apalagi jika hujan turun lebat dan lama. Namun, peristiwa banjir sebenarnya
bukan disebabkan hujan deras semata. Sebab, selebat apa pun hujan, tidak akan membuat
Jakarta banjir jika drainase atau lahan serapan air hujan tersedia dan bekerja
dengan baik.
Karena itu, dalam makalah ini kami
akan menggunakan prinsip penyebaran dan interelasi untuk mengetahui penyebaran
banjir dibeberapa kota di Indonesia.
B. TUJUAN / MANFAAT
TUJUAN:
1. Untuk mengetahui
apa itu prinsip geografi
2. Untuk mengetahui
penyebab fenomena banjir
3. Untuk mengetahui
solusi untuk menguragi terjadinya banjir
MANFAAT;
1. Dapat mengetahui
prinsi-prinsip dalam geografi
2. Mengetahui penyebab
terjadinya banjir
BAB
II PEMBAHASAN
A. PRINSIP GEOGRAFI
Geografi adalah
ilmu yang mempelajari persamaan dan perbedaan geosfer dengan sudut pendang
kelingkungan dan kewilayahan dalam konteks keruangan. Secara teriotis, dalam
mempelajari geografi perlu dijiwai prinsip-prinsip, yaitu:
1. Prinsip
Penyebaran
2. Prinsip Interelasi
3. Prinsip Deskripsi
4. Prinsip Korologi
Dalam mengamati dan menganalisis
gejala-gejala geografi yang ada disekitar kita, kita selalu berpegang pada
prinsip persebaran, prinsip interaksi, prinsip diskripsi, dan prinsip korologi.
Prinsip-prinsip itu merupakan dasar untuk mengkaji, menguraikan, serta
mengungkapkan gejala-gejala dan faktor geografi.
Dalam makalah ini, kami akan
menjelaskan tentang prinsip penyebaran dan prinsip interelasi.
1. PRINSIP
PENYEBARAN / SPREADING PRINCIPLE
Prinsip penyebaran digunakan untuk
menggambarkan gejala dan fakta geografi dalam peta serta mengungkapkan hubungan
antara gejala geografi yang satu dengan yang lain. Hal tersebut disebabkan
penyebaran gejala dan fakta geografi tidak merata antara wilayah yang satu
dengan wilayah yang lain. Prinsip ini pada hakikatnya adalah terjadi
persebaran gejala-gejala geosfer yang ada di permukaan bumi, di mana distribusi
(penyebarannya) berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya. Gejala
geografi baik yang menyangkut kondisi fisik maupun sosial tersebar luas di
permukaan bumi, tetapi penyebarannya tidaklah merata antara wilayah satu dengan
wilayah lainnya.
2. PRINSIP INTERELASI / INTERRELATIONSHIP
PRINCIPLE
Prinsip interrelasi digunakan untuk menganalisis hubungan antara
gejala fisik dan non fisik. Prinsip tersebut dapat mengungkapkan gejala atau
fakta Geografi di suatu wilayah tertentu. Prinsip ini menyatakan bahwa
terdapat hubungan antara gejala geografi yang satu dengan gejala geografi yang
lain di muka bumi. Oleh karena itu setelah dilihat persebaran gejala geografi
dalam satu ruang atau wilayah tertentu maka dapat pula diungkapkan hubungan
antara gejala geografi satu dengan gejala geografi lainnya. Selain itu dapat
pula diungkapkan hubungan antara gejala-gejala yang ada di permukaan bumi.
B. PENGGUNAAN PRINSIP
DALAM FENOMENA BANJIR
Banjir terjadi karena akibat yang
berbeda-beda dan di tempat yang berbeda pula. Seperti, banjir di Jakarta
terjadi karena hujan yang cukup deras dan tidak adanya tempat untuk air hujan
tersebut meresap, yang akhirnya lama kelamaan air itu menjadi banyak dan
mengakibatkan banjir. Sedangkan di Watampone, jika terjadi hujan yang cukup
deras, banjir tidak akan terjadi seperti banjir yang ada di Jakarta, karena di
Watampone, masih banyak tempat untuk resapan air banjr.
Penebangan pohon untuk keperluan
pembangunan seperti, hotel, perusahaan, dll menjadikan kurangnya tempat serapan
air yang dapat mengakibatkan banjir.
BAB
III PENUTUP
A. KESIMPULAN
Banjir terjadi akibat tidak ada
tempat untuk resapan air dan juga karena derasnya hujan dan dapat juga karena
sampah yang dibuang sembarangan oleh orang lain. Ibu Kota acap dilanda banjir.
Bahkan, dalam satu dua dekade ini kondisi banjir di Jakarta makin parah. Tahun
1970 hingga 1980-an, jalanan tidak akan tergenang bila hanya gerimis. Pada masa
itu banjir tidak separah dan seluas seperti sekarang. Pada masa kepresidenan
Megawati Soekarnoputri, Jakarta pernah dilanda banjir luar biasa dengan
kerugian yang tidak sedikit. Sekarang, meski hujan deras sebentar, genangan
dapat dijumpai di jalan-jalan. Bahkan, bisa terjadi banjir di berbagai tempat
sehingga menimbulkan kemacetan luar biasa.
Fenomena macet akibat banjir
merupakan hukum kausal yang menjadi ciri khas kondisi Ibu Kota saat ini.
Apalagi jika hujan turun lebat dan lama. Namun, peristiwa banjir sebenarnya
bukan disebabkan hujan deras semata. Sebab, selebat apa pun hujan, tidak akan
membuat Jakarta banjir jika drainase atau lahan serapan air hujan tersedia dan
bekerja dengan baik.
Banyak Perencanaan wilayah
kota/kabupaten (PWK) yang pada zaman penjajahan Belanda dahulu ditata apik.
Antara lain, dengan cara memberi perhatian pada keseimbangan ekosistem. Ironis,
setelah merdeka, konsep PWK hanya menjadi "macan kertas". Masyarakat
sulit mengakses info tentang rencana tata ruang wilayah (RT/RW). Bahkan, sudah
menjadi rahasia umum RTRW sering dilanggar pihak pemangku amanah.
Kartelisasi antara (oknum) penguasa
dan pengusaha merebak bahkan menggurita. Dampak perkongsian yang negatif dalam
membangun negeri ternyata berakibat pada munculnya polusi, perubahan
iklim/cuaca, longsor, banjir serta berbagai dampak negatif lainnya. Mal,
apartemen, perkantoran, ruko, perumahan dan bangunan-bangunan yang didirikan
tanpa persyaratan ketat, termasuk kewajiban membangun wadah atau lokasi serapan
air hujan yang memadai akan dapat menyebabkan banjir.
Bahkan, ada apartemen yang dibangun
di bibir sungai. Kenapa hal ini bisa terjadi? Tentu, pemangku kebijakan
bertanggung jawab atas lolosnya izin mendirikan bangunan di bibir sungai.
Biasanya, saat bencana datang, (pemerintah daerah) barulah memikirkan cara
mengatasinya. Penanganan seperti ini bersifat reaktif. Bukan proaktif.
Karena itu, antisipasi menghadapi
banjir, khususnya di Jakarta sebagai Ibu Kota, perlu dilakukan lebih sistemik.
Apalagi pembangunan fisik di Ibu Kota berlangsung terus menerus tiada henti
sejalan dengan dinamika perkembangan kesejahteraan manusia. Namun, sangat
disayangkan, kesediaan daerah resapan air hujan (Banjir Kanal Timur,
Drainase/saluran air, dan lain-lain) tidak sebanding dengan hasil pembangunan
mal, apartemen, perkantoran, ruko, perumahan, dan sarana jalan di wilayah
Jabodetabek. Pembangunan fisik di Jabodetabek mengikuti deret ukur, sedangkan
fasilitas resapan air hanya mengikuti deret tambah. Akibatnya, air hujan
tergenang dan terjadilah banjir. Salah satu solusi mengatasi kondisi ini adalah
dengan mengaudit atau mengecek ulang fasilitas resapan air gedung dan jalan
yang tersedia.
Bila perlu, pemangku kepentingan
(pemda dan pemerintah pusat) mewajibkan pemilik gedung (mal, perumahan,
apartemen, dan perkantoran) segera menyediakan dan menambah fasilitas resapan
air yang memadai. Upaya pemerintah menyediakan berbagai fasilitas pengendalian
banjir, termasuk Banjir Kanal Timur (BKT) patut diapresiasi, meski sampai kini
masih terkendala berbagai hal. Sementara itu, kepadatan Ibu Kota kian tinggi
sehingga memerlukan antisipasi luar biasa atas eksesnya.
B. SARAN
Di Indonesia biasanya setelah
persoalan mencuat barulah pemangku kepentingan sibuk mencari solusi instan yang
terkesan mengambil jalan pintas. Pemerintah selaku pihak pengelola sekaligus
penguasa negeri ini sebenarnya memiliki hak dan kewenangan mengatur
pembangunan, terutama yang dapat berekses, antara lain menyebabkan banjir.
Sayangnya, hak dan wewenang untuk lebih tegas dalam menertibkan pembangunan
yang menyimpang dari ketentuan belum terwujudnyatakan.
Paling tidak, ada tiga poin besar
yang patut digarisbawahi jika kita ingin mengatasi banjir secara menyeluruh dan
sistemik. Pertama, diperlukan program untuk menumbuhkembangkan
kesadaran pihak pemangku kepentingan untuk taat dan patuh pada konsep PWK
berikut RTRW-nya yang telah ditentukan pada masing-masing daerah. Pihak
eksekutif di daerah yang meloloskan izin mendirikan bangunan tidak sesuai
PWK/RTRW perlu ditindak tegas secara hukum. Audit kebijakan pembangunan dapat
menyertakan KPK. Sebab, lolosnya izin mendirikan bangunan yang tidak sesuai
RTRW biasanya terkait gratifikasi.
Kedua,
perlu menggerakkan segenap komponen bangsa untuk bertindak proaktif terhadap
pelanggaran PWK/RTRW di daerah masing-masing dengan melibatkan masyarakat dan
LSM. Karena itu, info RTRW di masing-masing daerah perlu dipublikasikan secara
transparan dan terbuka sehingga masyarakat luas dapat mengaksesnya. Tempat
pengaduan masyarakat perlu disediakan, termasuk upaya hukum yang dapat
dilakukan oleh masyarakat jika terdapat kebijakan yang melanggar aturan dan
kepantasan.
Ketiga,
peran serta pers dalam mengawasi pelaku pelanggaran RTRW perlu ditingkatkan.
Media massa di era reformasi ini sangat ampuh dalam menyebarluaskan perilaku
negatif penyelenggara negara. Pers dapat menjadi kekuatan moral yang berfungsi
sebagai alat kontrol sosial terhadap para elite. Pemberitaan media massa sekaligus
mengandung efek jera bagi para oknum penguasa dan pengusaha yang bersinergi
negatif sebagai akibat dari paradigma hidup mereka yang pragmatis dan hedonis.
Konsep clean and good
governance perlu disosialisasikan ke tengah masyarakat. Dengan begitu,
mereka sadar dan tergerak mengadukan pemerintah daerah yang melanggar secara
hukum. Selain itu, kinerja wakil rakyat dapat dikoreksi dari berapa banyak
pengaduan masyarakat terhadap pemerintah atas pelanggaran yang dilakukan.
Semakin banyak warga masyarakat memerkarakan pemerintah atas kebijakannya
secara hukum, maka semakin buruk kinerja wakil rakyat. Koridor hukum yang
ditempuh masyarakat tentu merupakan pembelajaran politik yang baik dan membuat
demokrasi di negeri kita semakin dewasa.
DAFTAR
PUSTAKA
Tambahin alamat blog
sya!!
Sekian dan terima kasih atas perhatian pembaca!!
Wassalamu ‘Alaikum Wr. Wb.
No comments:
Post a Comment